“Kamu, kamu Eragon kan?,” Anisa memastikan pria yang berdiri
di depannya adalah Eragon. Ia sangat akrab dengan wajah itu.
“Kalau iya kenapa?, kamu mau marah?, marah karena aku
meningalkanmu?,” . Anisa terisak, semua rasa berkecamuk di dadanya. Antara bahagia
atau bingung, silih berganti. Bagaimana mungkin Eragon yang makamnya sering ia
kunjungi hari ini berdiri di depannya. Kalau Eragon masih hidup, siapa yang
dimakamkannya di sana?.
“Maafkan aku Anisa,” Eragon hendak beranjak namun dengan
cepat anisa meraih tangannya.
“Tungu! Kamu belum menjelaskan apa yang sudah terjadi,”
“Apakah itu penting? Tidak itu tidak penting. Cukuplah kamu
tahu aku masih ada,”
“Tidak Eragon, itu tidak cukup. Semua tidak akan kembali
semula bila kamu tidak menceritakan apa yang terjadi kepadaku. Bagaimana aku
harus menerimamu tanpa mengetahui alasan yang logis kamu meninggalkanku?,”
Anisa terus menggenggam lengan tangan eragon erat. Ia mulai menangis.
“Anisa, percayalah aku punya alasan yang benar
meninggalkanmu saat itu,” Eragon meyakinkan, ditatapnya Mata Anisa dalam. Ia
menyeka buliran air mata yang mengalir
di pipi Anisa pelan.
“Bagaimana Aku tau itu benar kalau kamu tidak bercerita?”
Anisa tidak tahan untuk tidak memeluk Eragon. Dipeluknya eragon erat, erat
sekali seakan tak ingin melepaskannya sebagaimana ia tak ingin kehilangan Eragon
lagi. Eragon membalas pelukan Anisa dengan hangat, dikecupnya kening Anisa
berkali-kali. Anisa terus menangis dalam pelukan Eragon, entah tangis bahagia
atau luka karena ditinggalkan begitu lama.
“Aku akan Cerita, nanti,” Janji Eragon, dikecupnya lagi
kening Anisa.
Pintu tiba-tiba dibuka, Cherly, Devy dan Gigi berdiri di
depan pintu menyaksikan pemandangan yang sangat mengejutkan mereka. Anisa
buru-buru melepas pelukannya pada Eragon, begitupula Eragon. Mereka berdua
salah tingkah.
“Che,, Che,,Cherly! Kamu gak ketuk dulu?,” Anisa bersusah
payah mengeluarkan sebuah kalimat, ia gugup.
“Aku pikir kamu masih belum bangun Anisa,” Ujar Cherly
tersenyum, ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
“Kamu sudah baikan kan Anisa?,” Tanya Gigi. Anisa
mengangguk.
“Kalian tahu dari manaku di sini?,” Anisa balik bertanya.
“Era yang kirim SMS ke aku,” Cherly menunjuk Eragon.
“Dan kamu, kenapa kamu tiba-tiba ada di sini? Kamu tahu
darimana aku di sini?,” Anisa memandang Era.
“Kamu tadi malam pingsan,aku yang membawamu ke sini,” Jawab
Eragon datar.
“Tadi malam aku dapat kabar Wenda masuk rumah sakit, aku
buru-buru bermaksud melihatnya. Dan dijalan aku sebuah Taksi menabrak trotoar. Aku
berusaha mendekati dan bermaksud membantu, ternyata tidakparah. Hanya Mobil
yang rusak. Dan aku melihatmu pingsan di kuris belakang, aku meminta izin
kepada sopir untuk membawamu kemari,” Lanjut Eragon bercerita. Entah
kenapa ada dada anisa tiba-tiba sesak.
Ada rasa yang aneh ketika Eragon menyebut nama Wenda.
“Oh ya, kalau mau jenguk Wenda dia ada di Lantai satu,” Ujar
gigi, tiba-tiba raut Wajah cherly berubah. Tampak jelas ia khawatir.
“Aku akan ke sana,” Eragon menyambar jaket yang di simpannya
di dekat tempat tidur Anisa. Anisa semakin merasa ada yang aneh dengan
perasaanya, Cemburu? Mungkin.
***
Hujan sudah reda, Cahaya matahri menembus kaca jendela. Wenda
terbaring lemah. Energinya telah habis dipakai untuk menangis tadi. Lagipula
datangnya Cherly tadi menenangkan batinnya.
Pintu dibuka, Wenda menoleh ke arah pintu.
“Kak Era!,” bisiknya lirih. Ia berusaha untuk duduk.
“Sudah, kamu berbaring saja,” Suruh Eragon. Wenda mendelik,
tak disangaknya Eragon mengeluarkan suara. Tidak seperti biasanya.
“Tadi barusan kakak yang bicara?,”
“Iya, emang siapa lagi? Setan,” . Wenda tersenyum kecil,
pria yang ia sukai kini duduk di samping tempat tidurnya.
“Maaf ya aku baru menjengukmu sekarang, tadi malam aku
menolong Anisa. Taksi yang ditumpanginya menabrak trotoar dan dia pingsan. Aku menjaganya
sepanjang malam,”. Ekspresi Wenda berubah drastis, senyumnya layu, dialihkannya
pandangannya dari Eragon.
“Oh ya, aku dengar kamu coba bunuh diri, kenapa? Ada masalah
apa yang begitu berat hingga kamu nekat begitu?,” Tanya Eragon dengan aura
kedewasaannya. Wenda terkesiap, ia tak siap menerima pertanyaan ini. Haruskan iamengakui
bahwa ia bunuh diri karena menginginkan Era,
Dilema.
“Mau tau atau mau tau banget?,” Wenda mencoba menjadikan
pertanyaan itu sebagai sebuah gurauan, Eragon tersenyum.
“Aku serius. Tidak ada hubungannya dengan aku kan?,”. Wenda terkejut,
ia sama sekali tak siap menerima pertanyaan itu.
“Kalau ia kenapa?,” Jawab Wenda refleks, ia menutup mulutnya
menyadari ia telah mengaku. Eragon menatap Wenda tajam.
“Kenapa? Apa yang sudah kakak perbuat?,”
“Kakak tahukan? Aku sayang kakak. Dan kakak selalu
mengacuhkanku.,”
“Karena alasan sepele itu?,”
“Bagi kakak itu sepele, tapi bagi aku tidak.”
“Maksud kamu?,”
“Kakak adalah orang pertama yang membuat aku jatuh cinta.
Tahukah kakak betapa sakitnya mencitai sendirian? Mencitai tanpa balasan? Itu sakit
banget kak,”. Eragon terdiam.
“Lalu aku harus memaksa diri mencitaimu? Sebagai adikmungkin
bisa, lebih dari itu tidak bisa Wenda. Cinta itu tentang hati, ia tidak bisa
kita atur sesuak hati,”. Wenda terdiam, kata-kata Eragon Menghujam ke dalam
hatinya. Tanpa ia sadari air mata kembali mengalir dari matanya yang indah.
“Maafkan aku Wen!,” Eragon berusah menenagkan Wenda,
dipeluknya Wenda erat.